Kurang lebih satu bulan lagi tepatnya pada tanggal 9 Desember 2015 mendatang, sebagian besar masyarakat Indonesian akan diperhadapkan dengan hajatan akbar pesta demokrasi atau lazim disebut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang rencananya akan digelar secara serentak.
Model pemilihan ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Oleh karena itu, Indonesia harus dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena tercatat ada 269 daerah terdiri atas 9 provinsi dan, 36 Kota, 224 Kabupaten yang serentak memilih kepala daerahnya. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak gelombang pertama.
Digelarnya Pilkada secara serentak bertujuan untuk mengurangi anggaran. Inilah alasan utama dari Pilkada serentak. Tak heran, momentum yang terbilang urjen ini kian marak dibincangkan publik. Tak heran pula, pemandangan di setiap sudut dan tempat yang ramai dikunjungi masyarakat telah terpampang berbagai macam wajah-wajah para kandidat dilengkapi visi misi membangun, sebagai langkah menarik simpatisan masyarakat.
Selain itu, isu pilkada ini sangat hangat dan marak dibincangkan oleh publik ini, baik di kampus, tempat kerja, bahkan sampai di warung kopi. Tidak saja di Kalangan elite akan tetapi mahasiswa bahkan sampai pada tukang ojek pun antusias membicarakan soal pemilukada. Sampai-sampai ada yang saling klaim demi mempertahankan image simpatisannya.
Pada tahap ini, dapat dikatakan bahwa publik masih terperangkap pada skenario politik elite tanpa menganalisa lebih jauh, apakah Pilkada serentak berlangsung aman tanpa menimbulkan masalah? Sudahkah kita dengan baik menilai dan akan berlaku adil? Atau mungkin bisa dijamin kinerja pihak penyelenggara akan menjalankan tugasnya dengan baik?
Disini, penulis tidak bermaksud menggurui atau memprovokasi, namun berdasarkan analisa faktual dan kontekstual dan kemudian jika dikaitkan dengan sejarah perjalanan politik tanah air sampai saat ini, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ada salahnya dilontarkan.
Bisa diprediksi, Pilkada serentak sangat besar potensi terjadinya konflik antara masing-masing pendukung dan simpatisan. Bahkan, potensi konflik di Pilkada serentak ini diprediksi tiga kali lebih besar dari pemilihan presiden (Pilpres). Mengapa demikian? Ya, karena Pilkada serentak melibatkan elite, kelas menengah, hingga akar rumput. Pilkada sangat lokalistik. Semua lapisan akan menghadiri kegiatan apapun dalam rangka Pilkada.
Rawannya Pilkada serentak juga dipicu karena dibuat hanya satu putaran saja. Misalnya, selisih perolehan angka yang hanya berbeda tipis dikhawatirkan akan menimbulkan upaya persaingan yang tidak sehat. Inilah kemudian membuat KPU dan Pengawas harus siap dengan kekuatan yang lebih besar juga. Untuk mengidentifikasih hal ini, Bawaslu harus membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) untuk mengidentifikasi sejumlah kerawanan dan potensi pelanggaran yang dapat berulang terjadi berdasarkan pengalaman dari pelaksanaan pemilu presiden dan pemilu legislatif tahun 2014 dan Pilkada sebelumnya.
Untuk menghindar dari potensi konflik tersebut, maka ada beberapa hal pokok yang mestinya dipertegas, yakni profesionalitas penyelenggara, politik uang, akses pengawasan, dan partisipasi masyarakat serta kondisi keamanan. Inilah aspek yang dianggap paling rawan dan potensial memunculkan pelanggaran dalam Pilkada serentak pada 9 Desember 2015.
Hal mirip dikatakan oleh Pengamat Politik dari Universitas Mercu Buana, Heri Budianto, yang berharap agar semua pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaraan Pilkada harus memikirkan kepentingan Bangsa dan Negara. Menurutnya, Pilkada jangan sampai merugikan masyarakat. "Penyelenggara Pilkada baik KPU dsan Bawaslu termasuk kepolisian dan jajarannya harus menunjukan integritas dan kapasitasnya agar Pilkada bisa terlaksana dengan baik. Sementara Parpol dan calon kepala daerah jangan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan dengan menjadikan Pilkada sebagai ajang memenuhi kepentingan pribadi atau partainya".
Di sisi lain, Pemerintah Pusat telah menyiapkan pengamanan Pilkada serentak. Hal ini dikatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, usai menghadiri Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada serentak 2015, di Jakarta.
Konflik Menguras Energi Bangsa
Saat ini, Indonesia memiliki 34 Provinsi dan 492 Kabupaten/Kota yang harus melaksanakan Pilkada untuk memilih kepala daerah masing-masing. Jika dihitung secara kasar dan tanpa Provinsi Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur, maka setiap lima tahun ada 525 pelaksanaan pilkada. Artinya, setiap empat hari digelar Pilkada di Tanah Air.
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, biaya penyelenggaraan satu pilkada Kabupaten/Kota bisa mencapai 25 miliar. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pilkada provinsi, bisa mencapai Rp.100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan biaya pilkada yang dikeluarkan pemerintah, menurut Fitra, bisa mencapai Rp.17 triliun. Itu baru dari sisi biaya. Jumlah biaya pilkada yang banyak itu juga menimbulkan dampak sosial masyarakat di daerah. Menurut catatan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), sejak pilkada langsung digelar tahun 2005, hingga Agustus 2013, terdapat 75 orang meninggal dan 256 lainnya cidera. Infrastruktur dan sarana umum pun ikut rusak akibat amuk masa yang menolak hasil Pilkada.
Jika dipetakan, paling tidak ada lima faktor penyebab pilkada di Indonesia masih sarat masalah. Pertama, profesionalitas dan independensi penyelenggara Pilkada. Dalam setahun terakhir, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), telah menyidangkan 113 perkara pilkada. Dari jumlah itu, 97 perkara telah diputus dengan berbagai macam konsekuensi hukum, termasuk pemecatan 84 komisione KPU di daerah.
Kedua, sidang peradilan sengketa pilkada. Sengketa pilkada yang di bawah ke MK ternyata banyak menimbulkan ketidakpuasan. Waktu yang diberi UU untuk menyelesaikan sengketa pilkada terlalu sempit, hanya 14 hari. Padahal, pilkada tidak hanya dilaksanakan di Pulau Jawa, tapi juga di daerah yang jauh dari Ibu Kota. Perlu waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti dan membawanya ke Jakarta.
Ketiga, fungsi panitia pengawas pemilu (Panwaslu) yang belum maksimal dalam dalam mengawasi pelaksanaan pilkada. kewenagan panwaslu masih lemah. Mereka tidak bisa menindaklanjuti laporan-laporan yang masuk dari pihak-pihak yang merugikan. Keempat, moralitas aparat penegak hukum. Praktik suap yang dilakukan mantan ketua MK Akil Mochtar menunjukan moralitas penegak hukum dalam menangani sengketa pilkada masih buruk. Artinya, meski nantinya sengketa pilkada ditangani MK, tanpa ada perbaikan moral aparat, tentu peristiwa penangkapan Akil 'bisa' terus terjadi.
Kelima, kondisi kesejahteraan di daerah. Kesejahteran masyarakat di daerah yang masih di bawah rata-rata tentu mereka sangat mudah dimanfaatkan para politisi yang ikut pilkada hanya untuk merebut kekuasaan dan sekedar memiliki kepentingan ekonomi, bukan untuk menjadi pemimpin yang peduli terhadap kondisi masyarakat di daerah. Mereka akan mempengaruhi masyarakat dengan iming-iming uang. Kondisi seperti ini menyuburkan praktek politik uang dan membuat biaya pilkada semakin mahal.
Bayangkan jika lima faktor itu belum bisa diatasi dan sistem pilkada masih seperti saat ini, konsekuensinya energi bangsa kita habis hanya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, sebagai dampak pelaksanaan pilkada. Rakyat Indonesia pun akan terpecah-pecah hanya karena mendukung salah satu calon kepala daerah.
Dengan fakta-fakta semacam itu, wajar saja jika banyak kalangan yang mendesak agar pilkada di Indonesia perlu untuk dikaji ulang. Untuk mengurangi biaya pilkada yang tinggi dan bisa menimbulkan dampak sosial itu, pemerintah dan DPR patut mempertimbangkan pelaksanaan pilkada serentak. Pilkada serentak yang dimaksud adalah penyelenggara pilkada di satu provinsi hanya digelar sekali dalam lima tahun, yakni pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Cara seperti ini dapat mengurangi logistik pilkada. KPU di daerah bisa menggunakan satu kertas suara saja yang memuat seluruh nama dan foto para kandidat kepala daerah. Pemerintah provinsi, Kabupaten dan Kota juga bisa patungan untuk membiayai pilkada.
Model pemilihan ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Oleh karena itu, Indonesia harus dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena tercatat ada 269 daerah terdiri atas 9 provinsi dan, 36 Kota, 224 Kabupaten yang serentak memilih kepala daerahnya. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak gelombang pertama.
Digelarnya Pilkada secara serentak bertujuan untuk mengurangi anggaran. Inilah alasan utama dari Pilkada serentak. Tak heran, momentum yang terbilang urjen ini kian marak dibincangkan publik. Tak heran pula, pemandangan di setiap sudut dan tempat yang ramai dikunjungi masyarakat telah terpampang berbagai macam wajah-wajah para kandidat dilengkapi visi misi membangun, sebagai langkah menarik simpatisan masyarakat.
Selain itu, isu pilkada ini sangat hangat dan marak dibincangkan oleh publik ini, baik di kampus, tempat kerja, bahkan sampai di warung kopi. Tidak saja di Kalangan elite akan tetapi mahasiswa bahkan sampai pada tukang ojek pun antusias membicarakan soal pemilukada. Sampai-sampai ada yang saling klaim demi mempertahankan image simpatisannya.
Pada tahap ini, dapat dikatakan bahwa publik masih terperangkap pada skenario politik elite tanpa menganalisa lebih jauh, apakah Pilkada serentak berlangsung aman tanpa menimbulkan masalah? Sudahkah kita dengan baik menilai dan akan berlaku adil? Atau mungkin bisa dijamin kinerja pihak penyelenggara akan menjalankan tugasnya dengan baik?
Disini, penulis tidak bermaksud menggurui atau memprovokasi, namun berdasarkan analisa faktual dan kontekstual dan kemudian jika dikaitkan dengan sejarah perjalanan politik tanah air sampai saat ini, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ada salahnya dilontarkan.
Bisa diprediksi, Pilkada serentak sangat besar potensi terjadinya konflik antara masing-masing pendukung dan simpatisan. Bahkan, potensi konflik di Pilkada serentak ini diprediksi tiga kali lebih besar dari pemilihan presiden (Pilpres). Mengapa demikian? Ya, karena Pilkada serentak melibatkan elite, kelas menengah, hingga akar rumput. Pilkada sangat lokalistik. Semua lapisan akan menghadiri kegiatan apapun dalam rangka Pilkada.
Rawannya Pilkada serentak juga dipicu karena dibuat hanya satu putaran saja. Misalnya, selisih perolehan angka yang hanya berbeda tipis dikhawatirkan akan menimbulkan upaya persaingan yang tidak sehat. Inilah kemudian membuat KPU dan Pengawas harus siap dengan kekuatan yang lebih besar juga. Untuk mengidentifikasih hal ini, Bawaslu harus membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) untuk mengidentifikasi sejumlah kerawanan dan potensi pelanggaran yang dapat berulang terjadi berdasarkan pengalaman dari pelaksanaan pemilu presiden dan pemilu legislatif tahun 2014 dan Pilkada sebelumnya.
Untuk menghindar dari potensi konflik tersebut, maka ada beberapa hal pokok yang mestinya dipertegas, yakni profesionalitas penyelenggara, politik uang, akses pengawasan, dan partisipasi masyarakat serta kondisi keamanan. Inilah aspek yang dianggap paling rawan dan potensial memunculkan pelanggaran dalam Pilkada serentak pada 9 Desember 2015.
Hal mirip dikatakan oleh Pengamat Politik dari Universitas Mercu Buana, Heri Budianto, yang berharap agar semua pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaraan Pilkada harus memikirkan kepentingan Bangsa dan Negara. Menurutnya, Pilkada jangan sampai merugikan masyarakat. "Penyelenggara Pilkada baik KPU dsan Bawaslu termasuk kepolisian dan jajarannya harus menunjukan integritas dan kapasitasnya agar Pilkada bisa terlaksana dengan baik. Sementara Parpol dan calon kepala daerah jangan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan dengan menjadikan Pilkada sebagai ajang memenuhi kepentingan pribadi atau partainya".
Di sisi lain, Pemerintah Pusat telah menyiapkan pengamanan Pilkada serentak. Hal ini dikatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, usai menghadiri Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada serentak 2015, di Jakarta.
Konflik Menguras Energi Bangsa
Saat ini, Indonesia memiliki 34 Provinsi dan 492 Kabupaten/Kota yang harus melaksanakan Pilkada untuk memilih kepala daerah masing-masing. Jika dihitung secara kasar dan tanpa Provinsi Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur, maka setiap lima tahun ada 525 pelaksanaan pilkada. Artinya, setiap empat hari digelar Pilkada di Tanah Air.
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, biaya penyelenggaraan satu pilkada Kabupaten/Kota bisa mencapai 25 miliar. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pilkada provinsi, bisa mencapai Rp.100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan biaya pilkada yang dikeluarkan pemerintah, menurut Fitra, bisa mencapai Rp.17 triliun. Itu baru dari sisi biaya. Jumlah biaya pilkada yang banyak itu juga menimbulkan dampak sosial masyarakat di daerah. Menurut catatan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), sejak pilkada langsung digelar tahun 2005, hingga Agustus 2013, terdapat 75 orang meninggal dan 256 lainnya cidera. Infrastruktur dan sarana umum pun ikut rusak akibat amuk masa yang menolak hasil Pilkada.
Jika dipetakan, paling tidak ada lima faktor penyebab pilkada di Indonesia masih sarat masalah. Pertama, profesionalitas dan independensi penyelenggara Pilkada. Dalam setahun terakhir, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), telah menyidangkan 113 perkara pilkada. Dari jumlah itu, 97 perkara telah diputus dengan berbagai macam konsekuensi hukum, termasuk pemecatan 84 komisione KPU di daerah.
Kedua, sidang peradilan sengketa pilkada. Sengketa pilkada yang di bawah ke MK ternyata banyak menimbulkan ketidakpuasan. Waktu yang diberi UU untuk menyelesaikan sengketa pilkada terlalu sempit, hanya 14 hari. Padahal, pilkada tidak hanya dilaksanakan di Pulau Jawa, tapi juga di daerah yang jauh dari Ibu Kota. Perlu waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti dan membawanya ke Jakarta.
Ketiga, fungsi panitia pengawas pemilu (Panwaslu) yang belum maksimal dalam dalam mengawasi pelaksanaan pilkada. kewenagan panwaslu masih lemah. Mereka tidak bisa menindaklanjuti laporan-laporan yang masuk dari pihak-pihak yang merugikan. Keempat, moralitas aparat penegak hukum. Praktik suap yang dilakukan mantan ketua MK Akil Mochtar menunjukan moralitas penegak hukum dalam menangani sengketa pilkada masih buruk. Artinya, meski nantinya sengketa pilkada ditangani MK, tanpa ada perbaikan moral aparat, tentu peristiwa penangkapan Akil 'bisa' terus terjadi.
Kelima, kondisi kesejahteraan di daerah. Kesejahteran masyarakat di daerah yang masih di bawah rata-rata tentu mereka sangat mudah dimanfaatkan para politisi yang ikut pilkada hanya untuk merebut kekuasaan dan sekedar memiliki kepentingan ekonomi, bukan untuk menjadi pemimpin yang peduli terhadap kondisi masyarakat di daerah. Mereka akan mempengaruhi masyarakat dengan iming-iming uang. Kondisi seperti ini menyuburkan praktek politik uang dan membuat biaya pilkada semakin mahal.
Bayangkan jika lima faktor itu belum bisa diatasi dan sistem pilkada masih seperti saat ini, konsekuensinya energi bangsa kita habis hanya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, sebagai dampak pelaksanaan pilkada. Rakyat Indonesia pun akan terpecah-pecah hanya karena mendukung salah satu calon kepala daerah.
Dengan fakta-fakta semacam itu, wajar saja jika banyak kalangan yang mendesak agar pilkada di Indonesia perlu untuk dikaji ulang. Untuk mengurangi biaya pilkada yang tinggi dan bisa menimbulkan dampak sosial itu, pemerintah dan DPR patut mempertimbangkan pelaksanaan pilkada serentak. Pilkada serentak yang dimaksud adalah penyelenggara pilkada di satu provinsi hanya digelar sekali dalam lima tahun, yakni pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Cara seperti ini dapat mengurangi logistik pilkada. KPU di daerah bisa menggunakan satu kertas suara saja yang memuat seluruh nama dan foto para kandidat kepala daerah. Pemerintah provinsi, Kabupaten dan Kota juga bisa patungan untuk membiayai pilkada.
0 komentar:
Posting Komentar